Kamis, 13 Juli 2017

Ilal Liqo Ya Romadhon

Kini kita tengah berada di pekan ke tiga bulan Syawal 1438 H. Dua puluh hari sudah Ramadhan berlalu meninggalkan kita. Tanpa adanya kepastian apakah di tahun mendatang kita masih bisa berjumpa dengannya, menggapai keutamaan-keutamaannya, memenuhi nuansa ibadah yang dibawanya, ataukah justru Allah telah memanggil kita. Kita juga tidak pernah tahu dan tidak pernah mendapat kepastian apakah ibadah-ibadah kita selama bulan Ramadhan ini diterima oleh Allah SWT  atau tidak atau tidak.
Arti syawal adalah peningkatan. Demikianlah seharusnya. Paska Ramadhan, diharapkan orang-orang yang beriman meraih derajat taqwa, menjadi muttaqin. Hingga mulai bulan Syawal kualitasnya meningkat. Kualitas ibadah, juga kualitas diri. Bukankah kemuliaan seseorang tergantung pada ketaqwaannya? (QS. Al-Hujurat : 13)

Akan tetapi, yang kita lihat di sekililing kita justru sebaliknya. Syawal menjadi bulan penurunan. Penurunan ibadah, juga penurunan kualitas diri. Diantara indikatornya yang sangat jelas adalah  masjid-masjid, musholla-musholla  kembali sepi dari jamaah shalat lima waktu. Umpatan, luapan emosional, dan kemarahan kembali "membudaya". Bukankah ini semua bertolak belakang dengan arti Syawal? Bukankah ini seperti mengotori kain putih yang tadinya telah dicuci dengan sebaik-baiknya? Jadilah ia kembali penuh noda. Jadilah ia kembali menghitam dan semakin memburam.
Kalau di awal Ramadhan ada tarhib. Di akhir Ramadhan ada taudi’. Walaupun kata taudi’ berarti berpisah untuk tidak (sulit) bertemu lagi. Saat berpisah dengan buan mulia ini, ada sebuah kaidah, yaitu ( Man Lam Yadzuq Murro Tafaaruq., lam yadzuq hulwa liqo) “Orang yang tidak merasakan pahitnya berpisah, pasti belum mengerti manisnya perjumpaan.” Di atas kaidah ini, dibangunlah cara bagaimana berpisah dengan bulan Ramadhan. Saat berpisah dengan bulan Ramadhan, ada dua macam orang: Bahagia Berpisah? Kalau berbahagia saat berpisah, maka dia belum merasakan manisnya Ramadhan. Kalau belum merasakan manisnya Ramadhan, berarti dia belum memperlakukan Ramadhan dengan sebagaimana mestinya. Pribadi yang demikian hendaknya banyak beristighfar kepada Allah SWT disertai dengan penyesalan yang sebenar-benarnya. Ini akan jauh lebih baik daripada orang yang mengisi bulan Ramadhan tapi tidak bisa menjaga keutuhan pahalanya. Ataukah Sedih ketika berpisah.? Kalau bersedih saat berpisah, berarti dia telah merasakan manisnya bulan Ramadhan, dan dia tidak mau ditinggalkannya. Orang seperti ini perlu bersyukur kepada Allah SWT. Tapi bukan berarti kewajibannya telah selesai, dia perlu bermuhasabah apakah dia sudah sampai pada tujuan ibadah Ramadhan atau belum? Di antara tujuan ibadah Ramadhan adalah menjadi bertakwa. Cara muhasabah ketakwaan bisa dengan melihat tanda-tanda orang yang bertakwa. Misalnya banyak beribadah dengan motivasi melindungi diri dari siksa neraka; berusaha menjadi segala sesuatu sebagai pelindung dari siksa neraka; berusaha sempurna dalam melaksanakan kewajiban.   Tujuan lain ibadah di bulan Ramadhan adalah agar seluruh dosa kita diampuni. “Orang yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap surga, maka akan dihapuskan seluruh dosanya.” [HR.Bukhari dan Muslim]. “Orang yang menghidupkan malam di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap surga, maka akan dihapuskan seluruh dosanya. [HR. Bukhari dan Muslim]. Bagaimana mengetahui bahwa dosa-dosa kita telah diampuni? diantara tanda-tandanya seperti mudah dalam melaksanakan kebaikan dan ketaatan, karena dosa yang membebaninya telah dihilangkan sehingga beban menjadi ringan; selalu terdorong dalam melaksanakan kebaikan, karena di antara pahala sebuah kebaikan adalah dimudahkan berbuat kebaikan yang lain; dicintai orang lain, karena ketika Allah SWT mencintainya, maka para malaikat pun mencintainya, dan kalau malaikat mencintainya, maka orang lain pun ikut mencintainya. Kalau tujuan-tujuan itu dinilai tercapai, apakah sudah selesai? hendaknya kita menjaga sikap  seperti inkisar (merasa dirinya belum ada nilainya). Tidak merasa dirinya paling baik, paling shalih dan paling benar. Seperti sahabat Abdullah bin Umar RA berharap satu sujudnya diterima, padahal beliau adalah ahli ibadah tapi masih khawatir ibadah- ibadahnya ditolak Allah Ta’ala. Jika ada satu  sujudnya yang diterima maka akan lebih membuatnya bahagia daripada menerima harta seluruh dunia.
Kita juga belajar dari perintah Allah Ta’ala untuk banyak membaca istigfar di kala Ashar (sebelum subuh). Ini menunjukkan bahwa setelah banyak beribadah, jangan sampai ibadah itu membuat sombong, harus tetap merasa banyak berdosa. Hati-hati, Pahala Belum Aman Walaupun banyak mengumpulkan pahala di bulan Ramadhan, banyak sekali perbuatan yang bisa membuatnya hilang sia-sia. Misalnya, riya’; ujub; maksiat dalam khalwat; menzhalimi orang lain; menggunjing orang lain; hasad dan sebagainya.
Maka amal-amal yang telah kita biasakan di bulan Ramadhan, hendaknya tetap dipertahankan selama bulan Syawal dan bulan-bulan berikutnya. Tilawah kita yang setiap hari. Shalat malam yang sebelumnya kita selalu melaksanakan tarawih, di bulan Syawal ini hendaknya kita tidak meninggalkan shalat tahajud dan witirnya. Infaq dan shadaqah yang telah kita lakukan juga kita pertahankan. Demikian pula nilai-nilai keimanan yang tumbuh kuat di bulan Ramadhan. Sehingga kita tidak hanya menjadi hamba Ramadhani tapi yang diinginkan adalah menjadi hamba Rabbani.
kita tak takut lapar dan sakit karena kita bergantung pada Allah selama puasa Ramadhan. Kita tidak memerlukan pengawasan siapapun untuk memastikan puasa kita berlangsung tanpa adanya hal yang membatalkan sebab kita yakin akan pengawasan Allah (ma'iyatullah). Kita juga dibiasakan berlaku ikhlas dalam puasa tanpa perlu mengumumkan puasa kita pada siapapun. Nilai keimanan yang meliputi keyakinan, maiyatullah, keikhlasan, dan lainnya ini hendaknya tetap ada dalam bulan Syawal dan semakin meningkat juga pada bulan-bulan berikutnya. Bukan menipis tiba-tiba lalu hilang seketika!
Memang tidak banyak amal khusus di bulan Syawal dibandingkan bulan-bulan lainnya. Akan tetapi, Allah telah memberikan kesempatan berupa satu amal khusus di bulan ini berupa puasa Syawal. Ini juga bisa dimaknai sebagai tool atau sarana dalam rangka meningkatkan ibadah dan kualitas diri kita dihadapan Allah pada bulan Syawal ini. Dan keistimewaan puasa sunnah ini adalah, kita akan diganjar dengan pahala satu tahun jika kita mengerjakan puasa enam hari di bulan ini setelah sebulan penuh kita berpuasa Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun. (HR. Muslim)
Penurunan amal di bulan Syawal sekali lagi adalah hal yang seharusnya kita hindarkan. Bulan Syawal justru pernah menjadi bulan perjuangan yang amat menentukan bagi kaum muslimin. Itu terjadi pada tahun 5 H. Bulan Syawal kali itu merupakan bulan yang mendebarkan. Kaum muslimin dikeroyok oleh pasukan multi nasional yang merupakan gabungan dari Quraisy, Ghatafan, dan lain-lain. Karena itulah perang ini dikenal sebagai perang ahzab (gabungan/ sekutu),
 Itulah contoh betapa bulan Syawal tidak sepantasnya membuat ibadah dan kualitas diri kita turun. Justru seharusnya, sesuai dengan makna syawal, maka kita harus mengalami peningkatan dengan berupaya istiqamah serta meningkatkan kualitas ibadah dan diri, diantaranya dengan puasa Syawal.


(mm)

0 komentar:

Posting Komentar