Kini kita tengah berada di pekan ke tiga bulan Syawal 1438 H. Dua puluh
hari sudah Ramadhan berlalu meninggalkan kita. Tanpa adanya
kepastian apakah di tahun mendatang kita masih bisa berjumpa dengannya,
menggapai keutamaan-keutamaannya, memenuhi nuansa ibadah yang dibawanya,
ataukah justru Allah telah memanggil kita. Kita juga tidak pernah tahu dan
tidak pernah mendapat kepastian apakah ibadah-ibadah kita selama bulan Ramadhan
ini diterima oleh Allah SWT atau tidak atau tidak.
Arti
syawal adalah peningkatan. Demikianlah seharusnya. Paska Ramadhan, diharapkan
orang-orang yang beriman meraih derajat taqwa, menjadi muttaqin. Hingga mulai
bulan Syawal kualitasnya meningkat. Kualitas ibadah, juga kualitas diri.
Bukankah kemuliaan seseorang tergantung pada ketaqwaannya? (QS. Al-Hujurat : 13)
Akan
tetapi, yang kita lihat di sekililing kita justru sebaliknya. Syawal menjadi
bulan penurunan. Penurunan ibadah, juga penurunan kualitas diri. Diantara
indikatornya yang sangat jelas adalah
masjid-masjid, musholla-musholla
kembali sepi dari jamaah shalat lima waktu. Umpatan, luapan emosional,
dan kemarahan kembali "membudaya". Bukankah ini semua bertolak
belakang dengan arti Syawal? Bukankah ini seperti mengotori kain putih yang
tadinya telah dicuci dengan sebaik-baiknya? Jadilah ia kembali penuh noda.
Jadilah ia kembali menghitam dan semakin memburam.
Kalau
di awal Ramadhan ada tarhib. Di akhir Ramadhan ada taudi’. Walaupun kata taudi’
berarti berpisah untuk tidak (sulit) bertemu lagi. Saat berpisah dengan buan
mulia ini, ada sebuah kaidah, yaitu ( Man Lam Yadzuq Murro Tafaaruq., lam
yadzuq hulwa liqo) “Orang yang tidak merasakan pahitnya berpisah, pasti belum
mengerti manisnya perjumpaan.” Di atas kaidah ini, dibangunlah cara bagaimana berpisah
dengan bulan Ramadhan. Saat berpisah dengan bulan Ramadhan, ada dua macam
orang: Bahagia Berpisah? Kalau
berbahagia saat berpisah, maka dia belum merasakan manisnya Ramadhan. Kalau belum
merasakan manisnya Ramadhan, berarti dia belum memperlakukan Ramadhan dengan sebagaimana
mestinya. Pribadi yang demikian hendaknya banyak beristighfar kepada Allah SWT
disertai dengan penyesalan yang sebenar-benarnya. Ini akan jauh lebih baik
daripada orang yang mengisi bulan Ramadhan tapi tidak bisa menjaga keutuhan
pahalanya. Ataukah Sedih ketika
berpisah.? Kalau bersedih saat berpisah, berarti dia telah merasakan
manisnya bulan Ramadhan, dan dia tidak mau ditinggalkannya. Orang seperti ini perlu
bersyukur kepada Allah SWT. Tapi bukan berarti kewajibannya telah selesai, dia
perlu bermuhasabah apakah dia sudah sampai pada tujuan ibadah Ramadhan atau
belum? Di antara tujuan ibadah Ramadhan adalah menjadi bertakwa. Cara muhasabah
ketakwaan bisa dengan melihat tanda-tanda orang yang bertakwa. Misalnya banyak
beribadah dengan motivasi melindungi diri dari siksa neraka; berusaha menjadi
segala sesuatu sebagai pelindung dari siksa neraka; berusaha sempurna dalam melaksanakan
kewajiban.
Tujuan
lain ibadah di bulan Ramadhan adalah agar seluruh dosa kita diampuni. “Orang
yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap surga, maka
akan dihapuskan seluruh dosanya.” [HR.Bukhari dan Muslim]. “Orang yang
menghidupkan malam di bulan Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap surga,
maka akan dihapuskan seluruh dosanya. [HR. Bukhari dan Muslim]. Bagaimana
mengetahui bahwa dosa-dosa kita telah diampuni? diantara tanda-tandanya seperti
mudah dalam melaksanakan kebaikan dan ketaatan, karena dosa yang membebaninya telah
dihilangkan sehingga beban menjadi ringan; selalu terdorong dalam melaksanakan kebaikan,
karena di antara pahala sebuah kebaikan adalah dimudahkan berbuat kebaikan yang
lain; dicintai orang lain, karena ketika Allah SWT mencintainya, maka para
malaikat pun mencintainya, dan kalau malaikat mencintainya, maka orang lain pun
ikut mencintainya. Kalau tujuan-tujuan itu dinilai tercapai, apakah sudah
selesai? hendaknya kita menjaga sikap seperti inkisar (merasa dirinya belum ada
nilainya). Tidak merasa dirinya paling baik, paling shalih dan paling benar. Seperti
sahabat Abdullah bin Umar RA berharap satu sujudnya diterima, padahal beliau
adalah ahli ibadah tapi masih khawatir ibadah- ibadahnya ditolak Allah Ta’ala.
Jika ada satu sujudnya yang diterima
maka akan lebih membuatnya bahagia daripada menerima harta seluruh dunia.
Kita
juga belajar dari perintah Allah Ta’ala untuk banyak membaca istigfar di kala Ashar
(sebelum subuh). Ini menunjukkan bahwa setelah banyak beribadah, jangan sampai ibadah
itu membuat sombong, harus tetap merasa banyak berdosa. Hati-hati, Pahala Belum
Aman Walaupun banyak mengumpulkan pahala di bulan Ramadhan, banyak
sekali perbuatan yang bisa membuatnya hilang sia-sia. Misalnya, riya’; ujub;
maksiat dalam khalwat; menzhalimi orang lain; menggunjing orang lain; hasad dan
sebagainya.
Maka
amal-amal yang telah kita biasakan di bulan Ramadhan, hendaknya tetap
dipertahankan selama bulan Syawal dan bulan-bulan berikutnya. Tilawah kita yang
setiap hari. Shalat malam yang sebelumnya kita selalu melaksanakan tarawih, di
bulan Syawal ini hendaknya kita tidak meninggalkan shalat tahajud dan witirnya.
Infaq dan shadaqah yang telah kita lakukan juga kita pertahankan. Demikian pula
nilai-nilai keimanan yang tumbuh kuat di bulan Ramadhan. Sehingga kita tidak
hanya menjadi hamba Ramadhani tapi yang diinginkan adalah menjadi hamba
Rabbani.
kita
tak takut lapar dan sakit karena kita bergantung pada Allah selama puasa
Ramadhan. Kita tidak memerlukan pengawasan siapapun untuk memastikan puasa kita
berlangsung tanpa adanya hal yang membatalkan sebab kita yakin akan pengawasan
Allah (ma'iyatullah). Kita juga dibiasakan berlaku ikhlas dalam puasa tanpa perlu
mengumumkan puasa kita pada siapapun. Nilai keimanan yang meliputi keyakinan,
maiyatullah, keikhlasan, dan lainnya ini hendaknya tetap ada dalam bulan Syawal
dan semakin meningkat juga pada bulan-bulan berikutnya. Bukan menipis tiba-tiba
lalu hilang seketika!
Memang
tidak banyak amal khusus di bulan Syawal dibandingkan bulan-bulan lainnya. Akan
tetapi, Allah telah memberikan kesempatan berupa satu amal khusus di bulan ini
berupa puasa Syawal. Ini juga bisa dimaknai sebagai tool atau sarana dalam
rangka meningkatkan ibadah dan kualitas diri kita dihadapan Allah pada bulan
Syawal ini. Dan keistimewaan puasa sunnah ini adalah, kita akan diganjar dengan
pahala satu tahun jika kita mengerjakan puasa enam hari di bulan ini setelah
sebulan penuh kita berpuasa Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda:
Barangsiapa
berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian mengikutinya dengan enam hari di bulan
Syawal, maka ia seperti berpuasa setahun. (HR. Muslim)
Penurunan
amal di bulan Syawal sekali lagi adalah hal yang seharusnya kita hindarkan.
Bulan Syawal justru pernah menjadi bulan perjuangan yang amat menentukan bagi
kaum muslimin. Itu terjadi pada tahun 5 H. Bulan Syawal kali itu merupakan
bulan yang mendebarkan. Kaum muslimin dikeroyok oleh pasukan multi nasional
yang merupakan gabungan dari Quraisy, Ghatafan, dan lain-lain. Karena itulah
perang ini dikenal sebagai perang ahzab (gabungan/ sekutu),
Itulah contoh betapa bulan Syawal tidak
sepantasnya membuat ibadah dan kualitas diri kita turun. Justru seharusnya,
sesuai dengan makna syawal, maka kita harus mengalami peningkatan dengan
berupaya istiqamah serta meningkatkan kualitas ibadah dan diri, diantaranya
dengan puasa Syawal.
(mm)
0 komentar:
Posting Komentar